Bagian 1
Jika kita memerhatikan penciptaan alam dengan seksama, kita akan memahami bahwa alam ini tercipta melalui suatu proses dan pekerjaan. Kesempurnaan setiap komponennya dicapai berdasarkan sistem ini.
Setiap sesuatu darinya, baik kecil maupun besar, dari biji-bijian hingga matahari, apabila mengalami kemandekan dan stagnasi dalam proses ini, bagian alam ini akan mengalami kerusakan sebesar kerusakan pada sesuatu itu. Selanjutnya, alam ini pun akan tersendat dan mengalami kendala dalam perjalanannya.
Manusia juga bagian dari alam ini. Karenanya, ia tak boleh diam tanpa pekerjaan pada medan kehidupannya yang selalu bergerak dan penuh dinamika. Sungguh orang tak berakal dan tak memiliki kesadaran, sementara orang-orang sibuk bekerja dan berusaha memberikan manfaat pada orang lain, tetapi dirinya hanya diam, tak memberikan manfaat kepada orang lain, bahkan membebani mereka.
Kita juga memahami bahwa kesempurnaan maknawi dan materi hanya dapat dicapai dengan usaha dan bekerja. Orang yang tak mau bekerja dan tak mau menghadapi segala ujian dalam bekerja, maka ia telah membuat dirinya merugi dan gagal dalam mencapai kesempurnaan.
Islam sebagai agama yang lurus mengandung hukum dan peraturan yang berdasarkan pada asas yang kuat dan berakar pada fitrah manusia sehingga sangat mengerti terhadap segala keinginan dan kebutuhan fitrah manusia. Karenanya, Islam memberikan nilai tinggi pada aktivitas bekerja, tidak seperti agama-agama lain yang justru menganjurkan pada sebagian para pemeluknya untuk tidak bekerja. Islam sangat tidak setuju dengan menyepi dan cara kehidupan spiritual ala rahib-rahib. Dalam pelbagai riwayat para maksum as dikatakan, “Jauhilah kemalasan!” Setiap orang harus menjauhi kemalasan1 karena ia harus menjalani kehidupan di dunia ini dengan bekerja.
Dunia dan Akhirat
Tentunya, kita tidak boleh terlalu mencintai dunia dan juga terlalu mengesampingkannya. Dengan kata lain, jangan menjadikan dunia sebagai tujuan dan melupakan akhirat. Selain itu juga jangan menjauhinya sama sekali seperti rahib-rahib Nasrani yang memilih hidup terpisah dari masyarakat. Bahkan, kita harus mendudukkan kehidupan dunia yang fana ini sebagai jalan dan perantara, bukan sebagai tujuan, untuk meraih kehidupan akhirat yang kekal.
Mengesampingkan dunia pun merupakan penyimpangan dari sistem alam ini dan akan menyebabkan kehancuran masyarakat. Pada gilirannya, ia juga mencegah manusia untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Siapakah orang yang mampu mencapai kebahagiaan di akhirat dengan berlepas diri dari kehidupan dunia ini?
Rasulullah saw pernah bersabda, “Sesungguhnya manusia jika tersedia apa yang dibutuhkannya, maka ia akan tenang dan kuat.”2
Imam Ja`far Shadiq as juga pernah bersabda, “Sebaik-baiknya jalan adalah dunia untuk akhirat.”3 Beliau juga bersabda, “Bukan dari kami, orang yang meninggalkan dunia dengan alasan mencari kebahagiaan akhirat dan demikian pula sebaliknya meninggalkan akhirat karena mencari dunia.”4 Beliau pernah menafsirkan ayat suci yang berbunyi, “Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat…” dengan bersabda, “Kebaikan di akhirat ialah keridaan Allah dan surga, sedangkan kebahagiaan di dunia ialah rezeki dan kehidupan yang menyenangkan.”5
Pandangan Islam terhadap Pekerjaan
Kita meyakini bahwa Islam adalah agama yang mendukung usaha dan bekerja, bukan agama yang sejalan dengan kemalasan dan kemandekan. Untuk menjelaskan pandangan Islam ini, sebuah persoalan yang terkubur oleh persoalan-persoalan lainnya yang sering dihadapi, perlu kiranya secara sederhana mengkaji pandangan Islam tentang nilai pekerjaan dan pekerja.
Sebelum ini kami telah mengingatkan bahwa pengertian dari pekerjaan ialah produksi dan kreativitas.6 Jadi, setiap usaha dan kreativitas yang menyita waktu dan memberikan hasil yang dibutuhkan manusia adalah pekerjaan, baik pekerjaan yang banyak membutuhkan gerak fisik maupun pikiran manusia.
Seorang cendekiawan yang dengan ilmunya yang luas memegang tanggung jawab membimbing masyarakat; seorang dokter yang merawat dan menyembuhkan penyakit pasiennya; seorang insinyur yang membuat sketsa sebuah bangunan yang direncanakan akan dibangun; penceramah yang sedang menyampaikan petunjuk kepada masyarakat; seorang penulis yang menujukan baktinya dengan tulisan; seorang pelajar yang sabar dalam melaksanakan kegiatan belajarnya, semua itu dapat dikatakan sedang bekerja. Tetapi masing-masing memiliki nilai yang berbeda-beda. Pada kesempatan lain, kita akan mengkaji tentang batasan nilai-nilai tersebut dan pekerjaan yang paling bernilai, meskipun bagi mereka yang selalu berpikir secara mendalam dan menelaah setiap hasil dari pekerjaan, ini adalah hal yang jelas.
Sekarang ini, kami akan membawakan sejumlah ayat suci al-Quran dan riwayat dari para Imam maksum as tentang nilai bekerja:
Allah Swt dalam al-Quran berfirman, Kami telah menempatkan kalian di muka bumi dan menyediakan segala kebutuhan hidup kalian, tetapi kalian sedikit sekali bersyukur.7
Pada ayat suci lainnya, disebutkan firman-Nya yang menceritakan ucapan Nabi Shalih as kepada kaum Tsamud, Dialah yang menciptakan kalian di muka bumi dan menginginkan agar kalian memakmurkannya…8 Imam Ali as menerangkan ayat suci ini dengan berkata, Allah memerintahkan mereka untuk memakmurkan bumi, hingga tersedia apa-apa yang dibutuhkan manusia dari buah-buahan, biji-bijian, dan lain-lainnya.9
Di dalam al-Quran pun disebutkan ayat suci yang berbunyi, Maka apabila salat telah dilaksanakan, menyebarlah kalian di muka bumi dan carilah rezeki dari Allah.10
Imam Ali as pernah bersabda, Allah mencintai orang yang kreatif dan rajin yang dapat dipercaya.”11
Seseorang berkata kepada Imam Ja’far Shadiq as, “Seseorang berkata, ‘Aku hanya berdiam diri di dalam rumah, melaksanakan salat, berpuasa, beribadah kepada Tuhanku, tetapi rezekiku tetap terpenuhi.’ Imam as berkomentar, “Ia adalah salah seorang dari tiga jenis orang yang doa dan keinginannya tidak dikabul.”12
Beliau pun pernah bersabda, “Jika seseorang masuk ke rumahnya dan menutup pintu agar ia tak keluar, apakah rezeki akan turun dari langit untuknya?”13
Imam Musa Kazhim as pernah bersabda, “Orang yang mengurus diri dan keluarganya dengan mencari rezeki yang halal, maka ia bagaikan seorang sedang berjihad di jalan Allah.”14
Rasulullah saw pernah ditanya, “Harta apa yang paling baik?” Beliau menjawab, “Orang yang bertani, lalu ia menyiapkan segala kebutuhan untuk usahanya itu dan selalu memerhatikan dan menjaganya, kemudian saat ia memanen, ia mengeluarkan kewajiban syar’i atasnya.”15
Imam Ja’far Shadiq as berpendapat tentang para petani dengan berkata, “Mereka adalah simpanan Tuhan di bumi dan tak ada pekerjaan yang paling dicintai-Nya selain bertani.”16
Beliau pun bersabda, “Bertani dan berkebunlah! Aku bersumpah tidak ada pekerjaan bagi orang-orang yang lebih halal dan lebih bersih selain keduanya. Sebagaimana Allah Yang Mahagagah dan Mahaagung memilih pekerjaan bertani ini sebagai profesi para nabi-Nya.”17
Amirul Mukminin Ali as bersabda, “Orang yang memiliki air dan tanah, tetapi ia tetap miskin, maka Allah menjauhkan dirinya dari rahmat-Nya.”18
Para pemimpin kita tak hanya menunjukan penghargaan mereka kepada pekerjaan dan pekerja, mereka pun melakukannya dan mendorong orang lain untuk melakukannya.
Dengan tangannya, Imam Ali as telah membebaskan ribuan budak.19 Beliau juga seorang yang suka bertani. Suatu hari beliau terlihat memanggul sekarung biji kurma untuk ditanam. Saat beliau ditanya oleh seseorang tentang isi karung yang dibawanya itu, berkata, “Insya Allah, ini adalah kurma.” Beliau menanam semua biji kurma tersebut dan tak satu pun yang terbuang.20
Muhammad bin Munkadir21 berkata, “Aku pernah pergi keluar kota Madinah di saat cuaca sedang sangat panas. Di tengah perjalanan aku berjumpa dengan Abu Ja’far as, yaitu Imam Muhammad Baqir as. Ia adalah orang yang berpostur tubuh besar dan kuat. Aku melihatnya sedang bersandar ke tubuh dua orang pembantunya. Aku terperangah menyaksikan fenomena tersebut dan berkata dalam hatiku, ‘Mahasuci Allah, orang besar dari bangsa Quraisy ini di saat dan dalam suasana seperti ini sedang sibuk mengejar dunia, aku harus menasihatinya.’ Aku pun mendekatinya, seraya mengucapkan salam kepadanya. Ia menjawab salamku dengan agak berat, napas tersengal-sengal, dan dengan tubuh yang basah dengan keringat. Aku berkata kepadanya, ‘Apakah orang besar dari bangsa Quraisy mencari rezeki dunia di saat dan dalam cuaca seperti ini, seandainya saat ini ajal menjemput, apa yang akan Anda lakukan?’
Imam as berkata, ‘Aku berharap ajal menjemputku saat aku sedang menaati perintah Tuhan Yang Mahagagah dan Mahaagung, seperti halnya yang kini aku lakukan, dimana aku sedang membuat diri dan keluargaku tak bergantung darimu dan orang lain.’
Aku berkata, ‘Anda berkata benar. Sesungguhnya aku memberikan nasihat tersebut agar Anda memberikan nasihat kepadaku.’”22
Abdul A’la mengisahkan, “Pada suatu hari di saat cuaca sangat panas, aku bertemu Imam Ja’far Shadiq as di salah satu jalan di kota Madinah. Aku berkata kepadanya, ‘Diriku menjadi tebusanmu, dengan memiliki kedudukan khusus di sisi Allah dan kedekatan Anda dengan Rasulullah saw, mengapa Anda bekerja susah payah di saat cuaca sangat panas seperti ini?’
Beliau berkata, ‘Aku pergi untuk mencari rezeki agar aku tak bergantung kepada orang sepertimu.’”23 (Bersambung, insya Allah)
Catatan Kaki
1. Hurr Amili, Wasail al-Syi’ah, jilid 12, hal.38.
2. Ibid., hal.320.
3. Ibid., hal.17.
4. Ibid., hal.49.
5. Ibid., hal.3.
6. Tentu, sebagian jenis pekerjaan dibolehkan dalam Islam dan sebagian lainnya merusak moral individu dan masyarakat, jenis ini tak terpuji dan dilarang.
7. QS. al-A’raf [7]:10.
8. QS. Hud [11]:61.
9. Mirza Husain Nuri, Mustadrak al-Wasail, jilid 2, hal.426.
10. QS. al-Jumu’ah [62]:10.
11. Hurr Amili, Wasail al-Syi’ah, jilid 12, hal.13.
12. Ibid., hal.14.
13. Ibid.
14. Ibid., hal.11.
15. Ibid., jilid 13, hal.93-194
16. Ibid., jilid 12, hal.25.
17. Ibid., hal.43.
18. Ibid., hal.24.
19. Ibid., hal.22.
20. Ibid., hal.25.
21. Salah seorang dari ulama Ahlusunnah dan tokoh di kalangan sufi.
22. Kulaini, Furu’ al-Kafi, jilid 5, hal.73-74; Hurr Amili, Wasail al-Syi’ah jilid 12, hal.10.
23. Ibid.
Bagian 2
Kepribadian dan kemuliaan diri dapat terbangun dengan upaya dan kerja.
Siapa yang ingin menjadi orang yang berguna dan terhormat di tengah-tengah masyarakat, ia harus berusaha dan bekerja. Hanya dengan terlibat dalam kegiatan di masyarakat dan bekerja, kepribadian seseorang akan terbentuk dan semakin jelas.
Generasi muda hendaknya memahami bahwa senang menganggur dan malas merupakan pukulan terberat yang dapat menjatuhkan kepribadian dan harga diri masyarakat mereka. Sebaliknya bekerja dan berusaha memberikan kedudukan yang lebih baik dan kemuliaan kepada mereka. Mereka akan memperoleh kemerdekaan, sifat-sifat mulia, kemandirian, dan kemuliaan. Di samping menjelaskan bahwa bekerja itu merupakan keharusan atas orang yang hidup di dunia sebagai sebagai upaya memenuhi kebutuhannya, Islam juga memerhatikan pengaruhnya dalam menanamkan nilai-nilai moral ke dalam diri setiap muslim.
Mua’lla bin Khunais mengisahkan bahwa Imam Ja’far Shadiq as mendapati dirinya terlambat ke pasar, lalu berkata, “Hendaknya sejak pagi kamu berusaha memperoleh kemuliaanmu.”1
Seorang lelaki berkata kepada Imam Ja’far Shadiq as, “Aku tidak bisa melakukan pekerjaan dengan tanganku secara baik dan aku pun tidak mengerti bagaimana berdagang secara benar, lalu apa yang harus aku lakukan?”
Beliau berkata, “Bekerjalah, berpikirlah, dan dengan perantara ini buatlah dirimu menjadi tak bergantung kepada orang lain.”2
Jadi, Imam as ingin mengatakan, bekerjalah, berpikirlah untuknya, dan jangan kamu utarakan kebutuhanmu kepada orang lain. Karena, menganggur dan bergantung kepada orang lain akan dapat menjatuhkan harga diri. Ya, menganggur itu mewarisi kebergantungan dan mendorong seseorang untuk menginginkan harta orang lain yang secara pasti menyebabkannya terhina.
Imam Kazhim as berkata, “Putus asa dan tak mengharapkan apa yang ada pada genggaman orang lain membuat mukmin menjadi mulia, terhormat di dunia dan di mata orang lain, besar di hadapan orang-orang terdekat dan kebanggaan keluarga. Orang seperti ini adalah orang yang paling mandiri dan tak bergantung di mata dirinya sendiri dan orang lain.”3
Perlu kami ingatkan poin penting ini bahwa bekerja dengan semua nilai dan manfaatnya, bisa muncul dari pelbagai motivasi yang sebagian darinya tidak terpuji. Umumnya orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Tetapi, janganlah hal ini dijadikan satu-satunya dorongan bekerja. Hendaknya di samping bekerja untuk memenuhi kebutuhan pribadinya juga didasarkan pada keinginan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Khususnya, bila orang lain itu adalah famili, keluarga, dan tetangga, maka sesuai dengan kemampuan kita, tak seharusnya kita lupakan. Jika keinginan ini mendasari usaha kita dalam mencari rezaki, usaha dan bekerja kita menjadi kegiatan yang terpuji dan tidak menyebabkan kita menjadi penyembah dunia, bahkan sebenarnya juga upaya kita meraih kebahagiaan akhirat.
Seorang lelaki berkata kepada Imam Ja’far Shadiq as, “Demi Allah, aku adalah orang yang sangat keras dalam mencari dunia, karena aku ingin memiliki harta yang berlimpah. Bagaimana dengan keadaanku ini?”
Beliau berkata, “Apa yang kamu ingin lakukan dengan harta itu?”
Ia berkata, “Aku ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan diriku dan keluargaku, menolong familiku, membantu orang-orang miskin, dan melaksanakan ibadah umrah dan haji.”
Imam as berkata, “Apa yang kamu lakukan ini bukan mencari dunia melainkan upaya meraih kebahagiaan akhirat.”4
Tetapi, jika seseorang bekerja dan berusaha bukan untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluargannya serta membantu orang lain, pekerjaannya itu tidaklah terpuji.
Usaha yang Halal dan Haram
Persoalan penting lainnya yang juga harus diperhatikan ialah bahwa bekerja mesti memberikan keuntungan, baik, dan bermanfaat untuk diri sendiri dan masyarakat. Sedangkan, pekerjaan-pekerjaan yang merugikan diri sendiri dan masyarakat, membahayakan tubuh dan jiwa, atau dapat merusak akhlak dan moral masyarakat, dalam Islam tergolong hal-hal yang tak terpuji dan terlarang.
Setiap muslim bebas mencari harta, sejauh tidak menimbulkan kerusakan dan merugikan orang lain. Berdasarkan hal ini, dalam Islam usaha dan bekerja terbagi kedalam dua kategori. Pertama, syar’i dan halal, seperti bertani, berternak, wiraswasta, berdagang dengan cara yang benar, mengajar dan mendidik, dan semua usaha yang menguntungkan dan tak merugikan orang lain. Kedua, tak syar’i dan haram, seperti menjual minuman keras, berjudi, menjual alat-alat berjudi dan musik, riba, dan usaha-usaha lainnya yang akan dibahas pada bagiannya.
Islam mengharuskan setiap muslim memahami jenis-jenis usaha yang halal dan haram dan mempelajari hukum yang terkait dengannya sebelum melakukannya, agar dikemudian hari tak melakukan pelanggaran dalam usaha.
Imam Ali as pernah menyampaikan ceramahnya, “Wahai para pedagang, pahami lebih dulu hukum setelah itu perdagangan, hukum setelah itu perdagangan, hukum setelah itu perdagangan… Demi Allah, pemakan riba dari umat ini jauh lebih tersembunyi dibandingkan dengan langkah-langkah semut yang sangat pelan di atas batu yang keras.”5
Selama seorang muslim belum memahami detail syarat-syarat berdagang dan belum mengerti dengan baik hukum muamalah, maka ia akan terjerumus kedalam riba.
Pengaruh Bekerja pada Moral
Mesti dipahami bahwa kegiatan dan kreativitas seseorang berpengaruh langsung terhadap moralnya. Maka itu, jika seseorang tidak teliti dalam memilih bidang usaha yang akan dijalaninya, maka bukan mustahil ia akan menjalani usaha-usaha yang haram demi memuaskan hawa nafsunya, sehingga ia lebih berbahaya bagi dirinya dibandingkan orang lain dan dapat menghancurkan kepribadiannya.
Pada dasarnya, pekerjaan yang haram tidak dapat menciptakan jiwa yang bersih dan menonjol. Lingkungan kerja seseorang pun berpengaruh kuat pada pembentukan karakter dirinya. Karena itu, orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang diharamkan tidak dapat menjadi pribadi yang mulia dan terhormat. Jadi, dalam memilih jenis pekerjaan harus dengan penuh kesadaran. Karena, setiap jenis pekerjaan yang akan dijalani cepat atau lambat akan membentuk watak kepribadian seseorang.
Bahkan, tak hanya kita harus menjauhi semua bentuk usaha yang haram, kita pun harus memerhatikan dan teliti dalam memilih usaha-usaha yang halal, karena tujuan kita sebenarnya memilih pekerjaan yang lebih berkualitas dan dapat memberikan manfaat yang jauh lebih banyak. Imam Ja’far Shadiq as pernah bersabda, “Allah menyukai pekerjaan-pekerjaan mulia dan membenci yang rendah dan ringan darinya.”6
Tanggung Jawab Orang Tua pada Usaha Anak-anaknya
Penjelasan lainnya yang menguatkan nilai bekerja dalam Islam ialah masalah tanggung jawab orang tua pada usaha anak-anaknya. Dalam pandangan Islam, termasuk tanggung jawab orang tua ialah memerhatikan dan membantu memilihkan pekerjaan yang baik bagi anak-anaknya dengan cara yang bijaksana.
Rasulullah saw pernah menerangkan masalah hak anak atas orang tuanya kepada Imam Ali as. Di antaranya beliau bersabda, “Hak anak atas oang tuanya ialah mereka memberi nama yang baik kepadanya, mendidiknya dengan baik, dan mendorongnya untuk melakukan pekerjaan yang baik.”7
Pelajaran yang terkandung dalam riwayat di atas adalah masalah terpenting dalam dunia pendidikan yang tak boleh dilupakan oleh para orang tua.
Catatan Kaki
1. Wasail al-Syi’ah, jilid 12, hal.3
2. Al-Wafi, jilid 3, hal.8
3. Safinat al-Bihar, jilid 2, hal.327
4. Wasail al-Syi’ah, jilid 12, hal.19.
5. Ibid., hal.282.
6. Ibid., hal. 47.
7. Ibid., jilid 15, hal.123-124.
* Diterjemahkan dari Arzisye Kor wa Ihtirom be Korgar oleh Yusuf Anas..
Sumber:
http://www.iccjakarta.com
http://www.iccjakarta.com